Cari Artikel Lainnya

Cerita Kehidupan Prostitusi di Yogyakarta

Terkait dengan posting InfoShare sebelumnya tentang Kehidupan pelacuran ABG di Kota Malang dan Kehidupan Pelacuran di Surabaya,kali ini InfoShare akan berbagi cerita mengenai Kehidupan prostitusi di Yogyakarta Sebuah ironi memang jika Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar juga menyimpan cerita tentang kehidupan prostitusi yang sudah merupakan rahasia umum. Bahkan banyak pelajar dan mahasiswa di Yogyakarta yang terjebak dalam kehidupan prostitusi. Simak cerita kehidupan prostitusi di Yogyakarta akan berbadi tentang cerita tentang kehidupan prostitusi di Yogyakarta. Sungguh ironis memang Yogyakarta yang terkenal dengan sebutan sebagai Kota Pelajar, namun juga menyimpan cerita kehidupan malam yang gelap. berikut.
=================================================
Di Yogyakarta Mereka Disebut 'Ciblek'


CIBLEK. Itu sebutan untuk pelacur ABG di Yogyakarta. Singkatan dari cilikan betah melek.


Rinda, adalah salah satu ciblek yang hampir setiap hari mangkal di sebuah mal kawasan Malioboro. Ia putri seorang dosen sebuah perguruan tinggi terkenal di Yogyakarta.


Gadis manis satu ini minggat dari rumah orang tuanya karena merasa terlalu dikekang. "Di rumah terlalu banyak larangan. Tidak boleh ini, tidak boleh begitu. Rasanya seperti di penjara," katanya.


Karena itu ia memilih untuk tinggal di rumah kos. "Rasanya lebih bebas. Bisa melakukan apa saja. Pokoknya seenak sayalah," ujarnya sambil tertawa lepas.


Ia sangat menikmati kehidupannya sebagai ciblek "Naik mobil, tidur di hotel, makan di tempat yang mewah, dan sebagainya," katanya.


Kendati melek sampai larut malam, Rinda terbiasa bangun pagi-pagi untuk berangkat sekolah. Ia sangat pandai menyembunyikan 'profesinya'. Kalaupun kepergok teman sekolah atau tetangganya di mal tersebut, ia tidak terlalu khawatir. Karena di Yogyakarta terlalu banyak anak-anak remaja yang nongkrong di pusat-pusat keramaian seperti itu.


Lalu bagaimana cara Linda menggaet pria hidung belang? "Tidak terlalu susah. Saya tahu dari cara dia melirik. Lalu saya senyum sedikit, dia juga tersenyum. Biasanya kalau pria sudah tersenyum, langsung mendekatkan diri. Ya kemudian jalan," cerita Rinda.


Para ciblek di Yogyakarta memiliki beberapa tempat mangkal. Mereka bisa ditemukan di sebuah mal di kawasan Malioboro, di Jl Perwakilan atau di kawasan Senisono.


Para remaja yang biasa nongkrong di tempat tersebut, menurut Rinda, rata-rata ciblek. Antara pelajar dan mahasiswi, punya kelompok sendiri-sendiri, sehingga tidak saling mengusik.


Untuk mendekati mereka, sebenarnya tidak terlalu gampang, meski tidak sulit. Para ciblek ini biasanya lebih suka diajak berkenalan, makan-makan baru kemudian transaksi.


"Tapi kami bukan pelacur," katanya. Ia menyebut dirinya sebagai gadis remaja yang mencari kesenangan. "Kalau pelacur, kan mau dibawa ke mana saja dan oleh siapa saja yang penting diberi uang," ujarnya.


Tapi Rinda selalu memilih-milih teman kencannya. Dia lebih suka pria yang ganteng dan berpenampilan rapi. "Pria terlalu tua juga saya hindari. Kalau 40 tahun ke bawah okelah. Malu rasanya dengan bapak-bapak. Takut terbayang orang tua sendiri," katanya.


Khusus di kawasan mal, para ciblek bisa ditemukan di kedai makanan atau di dekat WC umum. Sedangkan di kedai kopi yang ada di kawasan itu ditemukan hombreng atau gay yang juga dari kalangan remaja.


Sedangkan di Senisono, kebanyakan adalah ciblek yang berbaur dengan anak-anak jalanan. Sementara di Alun-alun Utara lebih banyak kaum homo. Kawasan lainnya yang mulai marak dengan pelacuran anak-anak adalah Alun-alun Selatan.


Tri, 17 tahun, salah satu ciblek 'penghuni' Alun-alun Selatan. Pengalaman pertamanya melayani pria diperoleh tidak jauh dari tempat tinggalnya.


Ia tinggal di Yogya Selatan yang pernah menjadi lokalisasi. "Kakek saya memang punya kopel di SG. Ibu saya juga membantu," katanya. SG merupakan sebutan untuk Sanggrahan, kawasan resosialisasi para pelacur di Yogyakarta yang kini telah tergusur untuk pembangunan terminal bus.


Kendati masih sangat belia, Tri cukup pandai memainkan harga jika ada yang menawar. "Kalau mereka tanya ya saya jawab Rp 100.000 sekali main," katanya. Tapi tarif yang dipasang Tri bukanlah harga mati. Biasanya kalau sudah diajak makan atau nonton oleh calon teman kencannya, harga akan turun sampai Rp 25.000.


Soal harga, seorang pria yang sering menjadi perantara ABG di Alun-alun Selatan, mengatakan, harga bisa ditekan serendah mungkin. Bahkan bisa gratis.


Caranya? "Diakrabi dulu, ajak puter-puter, mabuk three in one baru jipan, paling mahal no ban go atau Rp 25.000, sudah bisa disebut" kata Zuma, pria muda yang sering menjembatani transaksi ABG itu.


Three in one adalah istilah untuk menyebut mabuk dengan pil, minuman keras, dan sekaligus ganja. Istilah ini sering pula diganti dengan tiga dimensi. Sedangkan ebut istilah untuk hubungan badan.


Setiap malamnya, Tri biasanya mengantongi Rp 15.000. Tapi kalau musim 'panen', penghasilannya bisa berlipat-lipat. Yang dimaksud musim 'panen', bila kegiatan besar di Yogyakarta, baik berskala nasional maupun internasional termasuk kegiatan olahraga, mereka akan mendapat banyak pesanan. "Kalau ada kegiatan seperti ini, kami bisa mendapat Rp 250.000 selama tiga hari," katanya.


Yang biasanya menggunakan 'jasa' mereka pada hari-hari biasa adalah para remaja yang rata-rata memiliki uang saku yang cukup.


Lain lagi cerita Tiyas, yang biasa mangkal di sebuah kafe di Jl Perwakilan jika yang mengajaknya itu orang yang tampak memiliki uang yang cukup banyak, mengggunakan mobil, dan bahkan melengkapi diri dengan handphone serta belum kenal, bisa mematok harga Rp 100.000 sekali main.


"Tapi kalau sudah kenal baik, harga bisa dikorting," katanya. Tapi Tiyas lebih suka berkencan dengan pria yang sudah dikenal alias telah berkali-kali berhubungan dengannya.


Menurut Tiyas yang masih sekolah di sebuah SLTA, berhubungan dengan pria yang belum dikenal terutama anak-anak sekolah atau mahasiswa, lebih banyak susah daripada enaknya.


Seperti yang pernah dialaminya, sejumlah pria remaja mengajaknya ke rumah kost, lalu diajak minum sampai mabuk. Setelah itu dikencani ramai-ramai.


"Sudah itu digabur atau dilepas begitu saja di suatu tempat yang cukup sepi," katanya.


Lokasi yang paling sering dijadikan tempat untuk nggabur adalah Ring Road Selatan, yang relatif sepi dan jauh dari pemukiman penduduk.


Setelah kejadian itu, Tiyas menceritakan kepada teman-temannya. Ternyata pengalaman serupa juga pernah dialami oleh temannya. "Jadi kalau pelajar atau mahasiswa yang datang, siap-siap saja untuk kecewa," katanya.


Bagaimana membedakan pelajar dan mahasiswa dengan pria yang sudah bekerja? "Kalau pelajar atau mahasiswa datangnya rombongan. Kalau yang sudah bekerja, biasanya sendirian," ujarnya.


Karena 'pintu' sudah tertutup untuk mahasiswa dan pelajar, menurut Tiyas, biasanya mereka mengencani pelacur liar yang biasa beroperasi di Alun-alun Utara.


'Ciblek Lanang' Melayani Wanita Kesepian


CIBLEK lanang. Sebutan untuk ABG pria yang menjual diri di Yogyakarta. Seperti juga gadis remaja, mereka juga anak sekolah dan punya tempat mangkal sendiri-sendiri.


Mereka bersedia melayani siapa saja, pria homo atau wanita kesepian. Ciblek lanang yang rata-rata pelajar SLTA dan mahasiswa, juga banyak mangkal di mal dan pusat-pusat keramaian lainnya.


"Banyak pelancong wanita yang kesepian. Ya, mereka mencari kami untuk menemaninya jalan-jalan dan tidur di hotel," kata Koko, ciblek yang sekolah di sebuah SMU di Yogyakarta itu menjelaskan. Pelancong wanita yang sering menggunakan 'jasa' mereka kebanyakan datang dari Jakarta.


Wanita 'pemburu' ciblek lanang rata-rata berusia muda. "Ada juga berumur 40 tahun. Dan sepertinya mereka sudah bersuami. Tapi soal itu kami tidak pernah tanyakan kepada mereka," kata Koko.


Selain melayani pelancong, Koko juga kerap menemani para mahasiswi di rumah-rumah kontrakan atau kamar kos. "Bila melayani mahasiswi, saya sering diminta memakai kondom," ujarnya.


"Tapi kalau dengan pelancong, jarang pakai kondom. Saya tidak tahu, mereka suka polos," ujarnya.


Tarifnya? Untuk mahasiswa rata-rata Rp 25.000 . Paling rendah Rp 15.000, "Tapi Rp 10.000 juga jadi kalau ceweknya cantik," kata Koko. Sedangkan untuk pelancong wanita, Koko memasang tarif Rp 50.000 sampai Rp 100.000.


Ciblek lanang tampil sebagai 'pemain AC DC'. Selain melayani wanita, juga melayani pria homo.


Bila 'menjaring' pria homo, mereka mencari mangsa di Alun-alun Utara dan di sebuah restoran di Jl Pasar Kembang. Mereka lebih luka dibawa pria bule.


"Orang bule itu tidak pelit,'' kata Koko. Ia menjelaskan, para bule kebanyakan 'mengencani' mereka relatif cukup lama. ''Kalau mereka di Indonesia seminggu, kami dipakai seminggu pula. Tidak jarang diajak ke mana-mana,'' ujarnya.


Koko, pria kelahiran Semarang itu, menjelaskan untuk aktivitas seksualnya dengan para homo selain sodomi juga oral seks. Bahkan tidak jarang '69'. Istilah ini untuk menyebut melakukan oral seks secara berbarengan.


Kendati lebih menyukai pria bule, mereka juga sering mendapat 'order' dari pria lokal. Dari para homo, biasanya mendapat uang saku antara Rp 50.000 - Rp 150.000 serta ditambah ajakan makan di restoran serta menikmati udara luar kota.


Para ciblek lanang ini pada dasarnya terbagi dua jenis. Koko menjelaskan, ada satu kelompok homo yang berperan dirinya sebagai wanita, namun ada yang berperan sebagai pria. Yang sebagai wanita, ujar Koko, tidak harus berdandan seperti wanita, tetapi kegenitannya memang seperti wanita, dan mencari pasangan yang gagah. Sedangkan yang berposisi sebagai pria tentu akan mencari yang genit-genit.


Kenapa Koko bisa menyukai pria sekaligus wanita? Sejak kecil dirinya memang sudah menyukai sesama jenis. ''Saat saya sekolah di Yogyakarta ini, rekan duduk sebangku saya kebetulan hombreng. Dia yang mengajak saya mengenal dunia yang lebih luas. Tapi sebagai laki-laki saya juga sangat tertarik kepada wanita,'' katanya.


Lain lagi cerita Dedy, pria yang sering mangkal di sebuah kafe di Jl Pasar Kembang. Putra seorang perwira menengah di Jakarta yang kini sedang menyelesaikan studinya di sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta mengaku melayani pria homo hanya kesenangan semata.


Dedy 'menjajakan' dijalani sejak berada di Yogyakarta. Meski demikian, Dedy mengaku kenal dengan kehidupan homoseksual sejak masih duduk di SLTP. Saat itu, katanya, ia sering diberi uang dan diajak ke tempat-tempat permainan anak-anak oleh tetangganya. ''Ini saat papah masih dinas di Surabaya,'' katanya. Oleh tetangganya inilah, Dedy mendapat kenikmatan homoseksual dan itu keterusan.


Lalu kenapa menjual diri? Dedy menjelaskan, semula memang tidak sengaja. Saat bersama-sama dengan rekan-rekan, ia sempat diajak 'main' oleh kenalan barunya. ''Bahkan saya jadi pacarnya selama beberapa bulan,'' katanya.


Setelah putus dengan 'pacarnya' itulah, Dedy merasa kecewa dan bersamaan pula dengan makin seretnya kiriman dari orangtua, terpaksa mencari tambahan biaya. "Biaya kuliah serta bahan-bahan praktek sekarang harganya sangat mahal," katanya.


Melayani pria homo, jelasnya memang bukan tujuan utama. Karenanya, katanya, tarif yang dipasang pun tidak selalu disodorkan. "Kalau saya mau melayani dan dia juga baik, kenapa harus pasang harga. Biasanya mereka tahu dan memberi tips setelah main," katanya.


Pendapatannya memang tidak tinggi, rata-rata per bulan sebesar Rp 750.000 sesudah dikurangi biaya obat-obatan yang diperlukan. Ia sendiri mengaku tidak terlalu suka dengan orang-orang bule. Alasannya? Para bule agak kasar.


Seperti halnya Koko, ciblek lanang lainnya, Andi yang mengaku berasal dari Cirebon melayani pria homo sudah sekitar tiga tahun. Katanya, melayani para bule lebih mengasyikkan. Apalagi, dua tahun lalu sempat diajak jalan-jalan ke Swiss oleh pasangan bulenya, sekadar untuk menikmati liburan.


Orang-orang bule, lanjutnya, biasanya mengajak main dengan sepenuh hati. Artinya, mereka menikmati dan menjalani kehidupan seksualnya 'sangat manusiawi'. "Pakai foreplay, cium-ciuman, sebelum main. Bahkan setelah main, mereka masih peduli. Beda dengan orang kita sendiri yang maunya langsung, habis itu pisah," katanya.


Bersama-sama orang bule ini, ucapnya, biasanya selama mereka berada di Yogya akan menjadi pasangan tetapnya. Bahkan tidak jarang harus menemani ke obyek-obyek wisata yang menarik.


"Memang tidak ada tarif yang ditawarkan, tetapi orang bule ini senang menghambur-hamburkan uang. Seminggu bersama mereka bisa meraih uang kontan US$100 atau bahkan lebih, belum termasuk hadiah khusus seperti pakaian, jam tangan dan sebagainya," katanya.


Berbeda lagi dengan Daniel. Pria keturunan kelahiran Medan ini dengan tegas mengungkapkan, jika mau meong harus bayar. Meong merupakan istilah di kalangan mereka untuk bermain seks. Baik itu anal maupun oral atau sekadar 'GGK' atau gesek-gesek kelamin.


Daniel yang masih duduk di sebuah SMU swasta di Kota Yogyakarta mengungkapkan, untuk sekali ajak yang biasanya dari malam sampai pagi, biasanya ia mendapatkan Rp 150.000.
Source:diambil dari sumber artikel dari komputer tinggalan
==================================================
Kehidupan prostitusi memang menawarkan godaan duniawi yang menggiurkan. Kehidupan prostitusi di Yogyakarta merupakan salah satu contohnya. Dengan artikel di atas hendaknya kita makin mawas diri dan menguatkan diri dari godaan tersebut

Artikel Serupa:

Cari Artikel dari Google: